Apakah perbedaan antara HIV-1 dan HIV-2?
Saat ini ada dua tipe (type) HIV: HIV-1 dan HIV-2. Di seluruh dunia, virus yang utama adalah HIV-1, dan umumnya bila orang terserang HIV tanpa ditentukan tipe virusnya, maksudnya adalah HIV-1. Baik HIV-1 dan HIV-2 disebarkan melalui hubungan seksual, darah, dan dari ibu-ke-bayi, serta keduanya terlihat mengakibatkan AIDS yang secara klinis tidak dapat dibedakan.
Namun, HIV-1 lebih mudah disebarkan dibanding dengan HIV-2, dan jangka waktu antara penularan dan penyakit yang timbul karena HIV-2 lebih lama.
Ada berapa banyak subtipe HIV-1?
HIV-1 adalah virus yang sangat berubah-ubah yang dapat bermutasi dengan sangat mudah. Jadi ada banyak jenis (strain) HIV-1 yang berbeda-beda. Jenis ini digolongkan menurut golongan (group) dan subtipe (subtype). Ada dua golongan, yaitu golongan M dan golongan O.
Pada September 1998, peneliti dari Perancis mengumumkan penemuan jenis HIV baru pada seorang wanita dari Kamerun di Afrika Barat. Jenis ini tidak termasuk dalam golongan M atau pun golongan O, dan hanya ditemukan pada tiga orang lainnya, semua di Kamerun.
Saat ini dalam golongan M sedikitnya diketahui ada sepuluh subtipe HIV-1 yang secara genetis berbeda. Subtipe ini terdiri dari A sampai J. Tambahan pula, golongan O terdiri dari beberapa golongan yang berbeda dari virus yang sangat beraneka ragam. Subtipe di golongan M dapat berbeda antar subtipe sebanyak perbedaan golongan M dengan golongan O.
Setiap subtipe ditemukan di mana?
Subtipe tersebar sangat tidak merata di seluruh dunia. Sebagai contoh, subtipe B kebanyakan ditemukan di sekitar Amerika (utara dan selatan), Jepang, Australia, Karibia, dan Eropa; subtipe A dan D adalah yang paling sering ditemukan di Afrika sub-Sahara; subtipe C di Afrika Selatan dan India; dan subtipe E di Republik Afrika Tengah, Thailand, dan negara lainnya di Asia Tenggara. Subtipe F (Brazil dan Rumania), G dan H (Rusia dan Afrika Tengah), I (Siprus), dan golongan O (Kamerun) mempunyai prevalensi sangat rendah. Di Afrika, sebagian besar subtipe ditemukan, walaupun subtipe B kurang umum.
Apakah perbedaan utama antara subtipe ini?
Perbedaan utama terletak pada susunan genetisnya; perbedaan yang bersifat sangat biologis di tabung percobaan dan pada manusia dapat mencerminkan hal ini.
Juga dikesankan subtipe tertentu dapat dihubungkan dengan cara penyebaran tertentu pula: misalnya, subtipe B dengan hubungan homoseksual dan penggunaan narkotik secara suntikan (pada intinya, melalui darah) dan subtipe E dan C, melalui hubungan heteroseksual (melalui jalur mukosal).
Penelitian di laboratorium yang dilakukan oleh Dr. Max Essex dari Harvard School of Public Health di Boston, AS, menunjukkan subtipe C dan E menularkan dan menggandakan diri lebih efisien dibandingkan dengan subtipe B pada sel Langerhans yang ada dalam mukosa vagina, leher rahim, dan kulup penis, tetapi tidak pada dinding dubur. Data memperlihatkan HIV subtipe E dan C lebih mudah menyebar secara heteroseksual dibandingkan dengan subtipe B.
Namun diingatkan, haruslah berhati-hati dalam menerapkan penelitian dari tabung percobaan ke keadaan hidup yang nyata. Faktor tidak tetap lain yang mempengaruhi risiko penyebaran, seperti tahapan penyakit HIV, kekerapan terpajan, penggunaan kondom, dan adanya penyakit menular seksual (PMS), juga harus dipertimbangkan sebelum kesimpulan yang pasti dapat diambil.
Apakah beberapa subtipe lebih menular dibandingkan dengan lainnya?
Beberapa penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan subtipe E menyebar secara lebih mudah dibanding dengan subtipe B. Pada satu penelitian yang dilakukan di Thailand (Mastro dkk., The Lancet, 22 Januari 1994), ditemukan angka rata-rata penularan subtipe E di antara pekerja seks wanita dan kliennya lebih tinggi dibandingkan dengan subtipe B yang ditemukan di kelompok umum di Amerika Utara.
Pada penelitian kedua yang dilakukan di Thailand (Kunanusont, The Lancet, 29 April 1995), antara 185 pasangan dengan satu pasangan yang terinfeksi HIV subtipe E atau B, ditemukan bahwa kemungkinan penularan pada pasangan tersebut lebih tinggi pada yang terinfeksi subtipe E (69%) dibandingkan dengan subtipe B (48%). Ini mengesankan subtipe E dapat lebih mudah ditularkan.
Namun penting untuk dicatat, tidak ada satu penelitian pun yang dirancang untuk memantau secara penuh terhadap berbagai faktor yang dapat mempengaruhi risiko penularan.
Apakah subtipe E adalah subtipe baru?
Subtipe E bukanlah subtipe baru. Contoh darah yang disimpan menunjukkan subtipe E telah dikenal pada permulaan wabah di Afrika Tengah dan awal 1989 di Thailand.
Apakah tes antibodi HIV umum mampu mendeteksi semua subtipe?
Tes antibodi HIV rutin yang saat ini digunakan untuk skrining darah dan diagnosis mendeteksi semua subtipe HIV. (Sebagian besar perusahaan telah mengubah tesnya, sehingga tes dapat mendeteksi jenis O dari golongan HIV-1 yang baru diketahui.)
Apakah ada subtipe lagi yang mungkin "muncul?"
Hampir dapat dipastikan subtipe genetis HIV baru akan ditemukan di masa mendatang, dan tentu subtipe baru akan berkembang sebagaimana virus terus bermutasi. Subtipe yang ada saat ini juga akan terus menyebar ke daerah yang baru selama wabah berlanjut di seluruh dunia.
Namun, di beberapa negara hanya ada sedikit pemantauan yang dilakukan untuk mendeteksi subtipe. Misalnya, di Inggris, Public Health Laboratory Service (pelayanan laboratorium kesehatan masyarakat) milik pemerintah yang bertanggung jawab untuk memantau penyebaran HIV di negara tersebut, dalam sebulan hanya menganalisis dua infeksi baru untuk informasi subtipe.
Apakah dampak keragaman HIV terhadap penelitian pengobatan dan vaksin?
Diperlu lebih banyak penelitian. Beberapa subtipe HIV yang telah diteliti di laboratorium mempunyai sifat pertumbuhan dan imunologi yang berbeda; perbedaan ini perlu ditunjukkan pada manusia.
Tidak diketahui apakah perbedaan genetis pada subtipe E atau subtipe lain sebenarnya membuat perbedaan pada risiko penyebaran, reaksi terhadap terapi antiretroviral, atau pencegahan oleh vaksin. Jika perbedaan genetis ini membuat perbedaan dalam efektivitas vaksin, tentu ini menunjukkan hambatan penting terhadap pengembangan vaksin HIV yang efektif secara luas atau cocok untuk seluruh dunia. Vaksin influenza kadang-kadang harus diubah dan diperbaharui karena adanya perbedaan genetis dalam virus influenza. Mungkin tindakan yang sama perlu dilakukan pada vaksin HIV
Dalam suatu berita menceritakan, seorang Odha bernama David Patient telah hidup selama lebih dari setengah usia 43 tahunnya sebagai Odha di Afrika Selatan. Hal ini berlawanan dengan yang diyakini dunia medis konvensional akan masa hidup Odha. Apa yang mengejutkan adalah ia sehat tanpa memakai ARV untuk semua kondisi HIV/AIDS-nya. Untuk segala gejala yang timbul, ia hanya memakai diet yang benar dan keinginan besar untuk hidup. Berlawanan dengan para ahli konvensional, pola hidupnya yang sehat telah terbukti cukup untuk menaklukkan HIV/AIDS.
Patient mengadakan tour ke Afrika untuk berbagi pengalaman dengan para Odha lainnya. Kesaksian dia dan semangat berbaginya sangatlah dibutuhkan oleh para Odha di Afrika, dimana 26 juta orang pengidap HIV ada di Afrika Selatan (itu berarti lebih dari setengah pengidap HIV di dunia).
Bukannya menyarankan para Odha mengikuti cara konvensional seperti misalnya penggunaan kondom, Patient menekankan nutrisi yang bisa meningkatkan sistem imun, memperpanjang masa hidup, dan menurunkan kemungkinan mereka menularkan ke orang lain yang mereka kasihi.
Ia juga tidak menekankan pemberian obat, tapi dalam kunjungannya selalu menekankan bagaimana caranya meningkatkan daya tahan tubuh Odha melalui makanan lokal yang kaya akan seng, beta karoten, dan selenium. Berdasarkan banyak ahli, orang dengan positif HIV memiliki masa hidup 8 tahun sebelum akhirnya berkembang menjadi AIDS.
Dengan nutrisi yang tepat, Patient percaya bahwa Odha bisa memperpanjang hidupnya empat tahun lagi.
Oleh karena para peneliti telah dibuat kagum oleh kesehatan David Patient, ia diminta untuk membantu mereka dalam penelitian.
Walaupun Patient telah menaklukkan banyak rintangan, pergumulan dalam jiwanya masih menyakitkan. Lebih dari seribu teman sependerita (para Odha) telah meninggal pada dekade pertama Patient didiagnosa positif. Inilah yang memicu “survivor guilt” (perasaan bersalah kenapa hanya dia saja yang selamat) dalam jiwanya karena dia tetap hidup sedangkan yang lainnya tidak.
Meskipun demikian, Patient tidaklah terkejut jika ia tetap hidup lama karena ia telah berjuang untuk melakukan apapun yang mungkin supaya tetap sehat.
Contoh mantan Odha yang tidak memakai ARV lagi adalah Christine Maggiore, Brandon Braud, dan Chris Dafoe.
ARV adalah AIDS itu Sendiri!
Dalam artikel dr. Mercola,”Efek Samping Dari Obat AIDS ‘Tidak Berbeda’ dari AIDS Itu Sendiri”, telah menunjukkan kepada kita bahwa ARV itulah yang menjadi AIDS YANG SEBENARNYA! Sebagai contoh efek samping dari AZT (merek Retrovir atau Zidovudine) adalah: Asthenia, sakit kepala, rasa tidak enak badan, Anorexia, sembelit, mual, muntah, sakit perut, arthralgia, meriang, maag, letih lesu, insomnia, otot sakit, neuropathy, hyperbilirubinemia, hepatomegaly, stomatitis, splenomegaly, batuk, gatal-gatal pada kulit, infeksi telinga, lymphadenopathy, anemia, serangan jantung, edema, hematuria, gugup, berat badan turun, sakit punggung, sakit dada, flu, cardiomyopathy, syncope, gynecomastia, mulut kering, dysphagia, perut kembung, Aplastic anemia, hemolytic anemia, leukopenia, lymphadenopathy, pancytopenia, hepatitis, sakit kuning, pancreatitis, gemetar, rasa cemas, depresi, pusing, kejang, vertigo, rhinitis, sinusitis, pruritus, Stevens-Johnson syndrome, mudah berkeringat, urticaria, amblyopia, hilang pendengaran, photophobia, sering kencing, dan lain-lain (masih ada yang lainnya?!).
Dari list di atas, apa Anda siap dengan beberapa efek samping yang akan dialami SEUMUR HIDUP jika Anda memakai ARV? Apa benar ARV meningkatkan kualitas hidup Odha ditambah peraturannya yang sangat mengikat?
Dari semua efek samping yang saya cantumkan di atas, itu semua adalah gejala AIDS, karena ARV merusak ginjal, hati, syaraf dan organ pencernaan. Jadi Odha akan benar-benar menderita AIDS pada saat mengkonsumsi ARV, sampai ia meninggal. Wow… benar-benar pengobatan yang “manjur”. Sungguh mengakhiri penderitaan Odha DENGAN CEPAT. Saya ucapkan selamat untuk “keajaiban medis” yang satu ini. Ini adalah bukti bahwa pengobatan medis konvensional memang “lebih baik” dibandingkan alam ciptaan Tuhan. Sungguh luar biasa!
Pengobatan Apa yang Harus Diambil Oleh Odha untuk Mengatasi AIDS?
Jika Anda terdiagnosa positif HIV/AIDS dan masih bingung akan pengobatan mana yang akan Anda ambil, ada 2 jalan berbeda yang bisa Anda lakukan, yaitu:
1. Percaya dengan hasil test dan percaya dengan paradigma AIDS konvensional kemudian mengikuti terapi ARV secara konvensional.
Jika Anda mengikuti jalan ini, berarti Anda telah MENYERAHKAN HIDUP Anda pada pengobatan yang SUDAH PASTI:
- Pengobatan gratis (beberapa daerah menawarkan ARV gratis). Tapi…
- Mengikat atau memperbudak Anda SEUMUR HIDUP dengan begitu banyak peraturan yang tidak boleh dilanggar. Boleh dikata, hidup Anda tidaklah sebebas dulu lagi. ARV bukanlah obat yang membuat kualitas hidup jadi lebih baik lagi. Itu adalah slogan konyol yang dari buahnya saja sudah terlihat bahwa Anda akan diperbudak dengan peraturan kaku seumur hidup (Anda HARUS minum ARV seumur hidup Anda). Sekali Anda lupa minum ARV, infeksi akan makin menjadi susah dikendalikan karena mutasi virus atau bakteri yang makin kebal dengan pengobatan ARV. Semakin banyak Anda lalai dalam menjalankan ARV, semakin besarlah dosis yang harus Anda konsumsi. Dan semakin besar dosisnya, semakin besar pula efek sampingnya. Semakin besar efek sampingnya, semakin Anda mendekat pada infeksi dan kerusakan organ yang mengakibatkan Anda makin dekat dengan kematian. Selamat, dengan demikian Anda tidak meninggal karena AIDS, tapi karena ARV. Sungguh kematian yang tragis karena perbudakan terapi konvensional dan ketidaktahuan yang polos.
- Membuat kondisi Anda makin buruk dengan efek sampingnya yang mematikan! ARV memiliki banyak efek samping yang mematikan dan beberapa di antaranya PASTI akan Anda alami, yaitu kerusakan hati, ginjal, infeksi paru, infeksi pankreas, peradangan paru, peradangan usus, pneumonia, kanker, kerusakan syaraf, dan masih banyak lagi efek-efek mematikan lainnya. Apalagi ditambah efek samping yang sangat mengganggu yaitu gatal, mual, muntah, sakit kepala, daya tahan tubuh menurun drastis, flu, demam, diare, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, ARV bukanlah obat yang membuat kualitas hidup jadi lebih baik lagi.
- Menjebak Anda ke dalam “Lingkaran Setan”. Pengobatan yang membawa efek samping akan memaksa Anda supaya mengkonsumsi obat lain untuk menutupi efek samping yang ada. Tapi obat tambahan tersebut juga ada efek samping lainnya sehingga perlu obat tambahan lainnya yang juga punya efek samping. Ini bagaikan lingkaran setan dimana dalam jangka panjang, Anda akan meninggal bukan karena penyakit, tapi karena efek samping obat. Lingkaran setan ini akan Anda alami SEUMUR HIDUP atau selama Anda tetap mempercayakan kehidupan Anda pada ARV. Tapi untuk lepas dari ARV lalu beralih ke holistik TIDAKLAH GAMPANG!
2. Percaya dengan hasil test dan percaya dengan paradigma AIDS konvensional tapi memakai pengobatan holistik dan tidak pernah memakai ARV.
Banyak Odha telah mengikuti cara ini, dan mereka bisa hidup normal seperti orang sehat lainnya dan tidak mati karena AIDS atau obat. Kematian karena AIDS itu tidak pernah datang ketika mereka menolak pengobatan konvensional. Agustina Saweri bukanlah contoh yang baik untuk jalan ini karena dia memang stop ARV dan memakai buah merah, tetapi selain itu, dia kembali ke kebiasaan yang seharusnya dia tinggalkan. Jika Anda mengikuti jalan alternatif ini, berarti Anda telah menyerahkan hidup Anda pada pengobatan yang SUDAH PASTI:
- Pengobatan tidak gratis. Tapi…
- Tidak mengikat atau memperbudak Anda seumur hidup dengan begitu banyak peraturan yang tidak boleh dilanggar. Beda dengan ARV, pengobatan holistik yang memakai alam tidak akan mengikat Anda. Anda hanya perlu pengobatan holistik pada saat penyakit muncul saja. Jadi tidak perlu Anda konsumsi atau gunakan seumur hidup. Yang perlu diterapkan seumur hidup hanyalah menjaga pola makan dan hidup yang sehat.
- Tidak membuat kondisi Anda makin buruk karena tidak memiliki efek samping. Inilah pengobatan sejati dimana Anda tidak akan pusing dengan efek samping dan tujuan dari pengobatan holistik adalah menyembuhkan, bukan merawat. Tapi yang perlu diingat adalah kesembuhan 100% itu tergantung dari kehendak Tuhan dan keseriusan (komitmen) pasien.
- Tidak menjebak Anda ke dalam “Lingkaran Setan”. Hidup Anda tidak akan diikat dan diperbudak oleh peraturan minum obat seumur hidup. Anda tidak akan mengalami efek samping yang mengancam jiwa Anda atau “mengganggu” kesehatan Anda. Anda hanya perlu memakai pengobatan alami sampai penyakit oportunistik hilang atau pada saat penyakit muncul saja. Tidak perlu mengkonsumsi seumur hidup. Nah, inilah yang dinamakan pengobatan yang meningkatkan kualitas hidup, pengobatan asli dari alam ciptaan Tuhan!
Mengapa Saya Menentang ARV dan Medis Konvensional
Saya adalah praktisi holistik modern yang TERANG-TERANGAN (dan saya mengajak para praktisi holistik lainnya yang “mencintai Tuhan” juga melakukan hal yang sama) berdiri membela kedaulatan Tuhan yang diinjak-injak oleh dunia medis konvensional yang selalu:
1. Merendahkan Tuhan dengan slogan nonverbalnya: “obat buatan kami lebih baik dibandingkan alam ciptaan Tuhan. Jangan percaya dengan herbal dan alam yang belum diuji klinis.” Itulah sebabnya sampai sekarang orang lebih percaya dokter dibandingkan praktisi holistik, datang ke dokter dulu baru ke holistik. Cara kerja manusia diutamakan, sedangkan cara kerja Tuhan dikesampingkan atau jadi urutan paling akhir.
2. Menyebarkan kebohongan bahwa obat konvensional jauh lebih aman dibandingkan alam, padahal terbukti bahwa obat kimia memiliki lebih banyak efek samping dibandingkan alam.
3. Mencemari dan merusak alam (air, tanah, hewan, tumbuhan, dan tubuh kita) ciptaan Tuhan dengan cara memproduksi, “memaksa” mengkonsumsi, dan membuangnya di air, tanah, hewan, tumbuhan, dan tubuh kita.
4. Menyesatkan publik dengan pandangan bahwa penelitian (yang adalah cara kerja manusia) adalah bukti nomer satu untuk menetapkan kebenaran dibandingkan fakta sehari-hari dan sejarah (yang adalah cara kerja Tuhan untuk menyatakan suatu kebenaran). Penelitian itu BISA DIMANIPULASI, sedangkan fakta sehari-hari dan sejarah tidak bisa. Penelitian paling utama dipakai untuk MENJELASKAN suatu hal atau kebenaran, BUKAN SEBAGAI BUKTI UTAMA akan suatu hal atau kebenaran.
5. Dengan malprakteknya telah membunuh jutaan orang dalam setahun diseluruh dunia, MELEBIHI kasus kecelakaan, perang, pembunuhan, dan bencana alam!
Yang saya tentang bukanlah dokternya, tapi sistem medis konvensional mereka. Beberapa dari mereka yang memiliki hati yang baik dan memiliki pikiran terbuka, mau belajar dari pengobatan holistik dan memakai alam. Akhirnya dokter-dokter ini beralih menjadi dokter holistik. Untuk mereka yang berpaling ke holistik, saya ucapkan selamat, karena mereka telah memilih jalan yang benar dan terbaik. Selamat bergabung di dunia pengobatan holistik!
ARV, obat kimia, dan standar pengobatan medis konvensional lainnya bukanlah pengobatan yang terbaik, malahan pembawa petaka dalam jangka panjang. Dari 100% obat-obatan kimia di dunia ini, hanya 2% saja yang aman dan bermanfaat. 98% lainnya lebih membawa kerugian dibandingkan manfaat, bahkan merusak alam dan tubuh kita.
Bicara AIDS tidak pernah lepas dari yang namanya infeksi oportunis. Seorang pengidap AIDS seringkali dirawat bukan karena gejala AIDS nya tapi karena infeksi lain saat daya tahan tubuhnya lemah akibat virus HIV ini. Mengingat kaitan yang sangat erat antara HIV AIDS dengan Infeksi Oportunis ini ada baiknya kita bahas sedikit mengenai Infeksi Oportunis.
Definisi:
Infeksi Oportunis adalah infeksi karena patogen (virus, bakteri, jamur) yang tidak menimbulkan penyakit pada manusia normal dengan sistem imun yang normal. Infeksi Oportunis ini biasanya disebabkan oleh “flora normal” yang memang ada pada setiap manusia seperti E. Coli, Candida, Aspergilus, dsb.
Penyebab:
Infeksi Oportunis disebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga flora normal yang biasanya seimbang dan tidak mengganggu dapat menjadi sangat berbahaya. Hal-hal yang dapat menyebabkan turunnya daya tahan tubuh ini antara lain:
• Kurang gizi
• Infeksi Berulang
• Kostikosteroid dan supresor imun lain
• Kemoterapi
• Genetik
• Stress
• Antibiotik
• Kehamilan
• AIDS
Beberapa Infeksi Oportunis yang sangat khas pada penderita AIDS:
a. Dematitis generalisata
Kulit adalah pertahanan tubuh paling luar dan paling luas terhadap infeksi. Penurunan daya tahan tubuh akibat HIV AIDS akan menyebabkan inflamasi yang luas pada permukaan kulit di berbagai lokasi pada tubuh pasien.
b. Candidiasis Orofaringeal
Candida albicans adalah jenis jamur yang merupakan flora normal yang terdapat pada setiap orang. Kadang jamur ini juga dapat menimbulkan keputihan pada wanita. Pada pasien AIDS yang mengalami penurunan kekebalan tubuh, candida ini dapat tumbuh di mulut dan tampak seperti selaput-selaput putih yang akan berdarah bila dikorek.
c. Herpes simplex
Merupakan salah satu penyakit kelamin yang biasanya juga menyertai penderita AIDS ini
d. Herpes zoster rekurens multisegmental
Merupakan reaktivasi dari virus herpes zoster yang pada infeksi pertama akan menimbulkan varicella. Herpes zoster ini sering disebut cacar ular karena sifatnya yang hanya mengenai separuh tubuh penderitanya. Namun pada penderita AIDS yang sudah sangat lemah sistem imunnya. Daerah yang terkena bisa multisegmental.
e. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Vagina memang mempunyai jamur yang merupakan flora normal. Pada manusia dengan sistem imun yang normal, flora normal ini tidak menimbulkan masalah. Namun pada penderita AIDS tidak ada sistem kekebalan tubuh yang cukup untuk mengendalikan flora normal ini, akibatnya akan terjadi infeksi yang terus berulang.
NB: Terdapat banyak sekali infeksi oportunis lain yang berkaitan dengan HIV AIDS, yang tertulis di atas adalah infeksi oportunis yang masuk dalam kriteria minor penegakan diagnosa HIV AIDS
Semoga bermanfaat.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HIV/AIDS
A.Pengertian
Human Immunodeficiency Virus (HIV) Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang tiidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Kerusakan sistem kekebalan tubuh ini akan menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah :
Sekumpulan gejala, infeksi dan kondisi yang diakibatkan infeksi HIV pada tubuh. Muncul akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga infeksi dan penyakit mudah menyerang tubuh dan dapat menyebabkan kematian. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang muncul akibat lemahnya system pertahanan tubuh yang telah terinfeksi HIV atau oleh sebab lain.
Pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya masih baik infeksi ini mungkin tidak berbahaya, namun pada orang yang kekebalan tubuhnya lemah (HIV/AIDS) bisa menyebabkan kematian.
AIDS dapat didefinisikan melalui munculnya IO yang umum ditemui pada ODHA:
1.Kandidiasis: infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, vagina.
2.Virus sitomegalia (CMV): menimbulkan penyakit mata yang dapat menyebabkan kematian.
3.Herpes pada mulut atau alat kelamin.
4.Mycobacterium avium complex (MAC): infeksi bakteri yang menyebabkan demam kambuhan.
5.Pneumonia pneumocystis (PCP): infeksi jamur yang dapat menyebabkan radang paru.
6.Toksoplasmosis: infeksi protozoa otak.
7.Tuberkolosis (TB) Perjalanan penyakit HIV/AIDS : periode jendela (3-6 bulan) ? HIV + (3-10 tahun)? AIDS + (1-2 tahun). Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat sepanjang hidupnya apabila ia menjaga kesehatan tubuhnya: makan teratur, berolahraga dan tidur secara seimbang. Gaya hidup sehat akan tetap melindungi kebugaran orang dengan HIV dan ia akan tetap produktif dalam berkarya.
Bila telah muncul tanda-tanda penyakit infeksi dan tidak kunjung sembuh atau berulang, artinya daya tahan tubuh menjadi buruk, sistim kekebalan tubuh berkurang, maka berkembanglah AIDS.
B.Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Virus ini ditransmisikan melalui kontak intim (seksual), darah atau produk darah yang terinfeksi.
C. Patofisiologi
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu :
Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh. “ber-aksi” bahkan kemudian dilumpuhkan.
Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬ dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekebalan.
Sabtu, 02 April 2011
Minggu, 27 Maret 2011
MAKALAH BUDAYA DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT INDONESIA SEBELUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
• Latar Belakang
Membincang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Melakukan pembacaan terhadap Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmupengetahuan, agama, dan kesenian.
• Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan yaitu sebagai berikut :
• Islam : Lokal dan Universal.
• Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa.
• Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa.
• Karakteristik Islam Kejawen.
• Tujuan
Tujuan makalah ini sebagai sarana sekaligus suatu arah dalam menjalankan tugas. Maka berdasarkan pada rumusan masalah dapat dibuat tujuan masalah yaitu sebagai berikut:
• Penulis ingin mengetahui dan memahami Budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia sebelum islam dan sesudah islam.
• Agar dapat memenuhi tuntunan dari Tri Dharma tinggi khususnya dharma pendidikan Islam.
• Untuk mengetahui tugas mata kuliah sejarah SKI Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
• Islam:Lokal dan Universal
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim, dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti originalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
• Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa
Ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘ponakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyrakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib di pandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk berbakti kepada dewa saja ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Sejak awal budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi raja kepada rakyatnya melalui media
hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan sebagai tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang juga disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja mempunyai kepentingan-kepentingan mencipatakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptkan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.
• Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa
Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel. Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam.
Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo.
Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam.
Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘zaman kewalen” (zaman wali).
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.
Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuhtoleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach).
• Karakteristik Islam Kejawen
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang; Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama Islam. Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri.
Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Dalam diskursus akademik, di kalangan para peneliti istilah Kejawen ada yang menyebut dengan istilah aliran kepercayaan. Pada saat yang lain, Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islam Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varian, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Pengembangan konseptual dari gagasan di atas menurut Koentjaraningrat mendefinisikan Islam Jawi atas Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai sama dengan agama Islam. Komunitas Islam Kejawen dan santri terdapat dalam berbagai lapisan masyarakat di Jawa.
Adapun mengenai sitem keyakinan Islam Jawi atau Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, mahluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.
Mistik merupakan salah satu bentuk dari hasil proses pembentukan kebudayaan religi di Jawa. Ketika Islam kultural dari tradisi besar pesantren bersentuhan dengan kebudayaan religi Jawa, maka terjadilah interaksi tarik ulur antara keduanya. Hasilnya adalah munculnya mistik baru yang belakangan disebut “mistik Islam Kejawen”. Sebagaimana diakui oleh para pengamat budaya Jawa bahwa daya resepsi (penerimaan) masyarakat pengembang budaya Jawa sangat lentur, yaitu budaya yang terbuka untuk menerima budaya luar tanpa kehilangan jati diri kebudayaan Jawa.
Dalam tradisi kepercayaan orang kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan silsilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu.
Dalam sistem keyakinan kejawen klasik, apa yang disebut leluhur itu adalah orang yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka itu selalu dihubungi oleh orang-orang yang masih hidup dengan upacara adat tertentu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.
Kehidupan orang Jawa bergerak antara kutub-kutub kasar dan kehalusan untuk menciptakan keunggulan moral. Pemakaian bahasa Jawa dan tingkah-laku yang menyertainya jelas sekali mengekspresikan hal itu. Tidak mungkin berbicara dengan bahasa Jawa tanpa memperhatikan posisi orang yang diajak bicara. Pilihan kata mencerminkan keakraban, kedudukan, dan formalitas, usia, jarak sosial, dan peringkat berikut dengan nuansa pengharapan relatif. Kewajiban dan hak.
Bahasa dan tindak tanduk digunakan untuk mengekspresikan penghormatan dan penghargaan bagi yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian, penghormatan terhadap hirarki merupakanperilaku moral. Pola komunikasi dalam interaksi sosial dalam komunitas Jawa betul-betul menggambarkan relasi moral dengan menempatkan bahasa komunikasi sesuai dengan martabat dan keluhuran tokoh yang dihormatinya.
Konsep agama Jawa mengenai Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam dan dituangkan dalam istilah sebutan Gusti Allah ingkang Maha Kuwaos. Konsep tentang Tuhan bagi masyarakat kejawen sangat sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan adalah penyebab dari segala kehidupan, dunia, dan seluruh alam semesta (ngalam donya), dan hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa).
Sumber yang paling utama terkait dengan konsep Tuhan pada orang kejawen adalah buku Nawaruci yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Bali-Jawa, dalam bentuk prosa. Dalam buku itu Tuhan dilambangkan sebagai mahluk yang sangat kecil dan ia dapat melihat seluruh alam jagad raya. Menurut konsep agama orang kejawen bahwa Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini yang dilambangkan dengan wujud suatu mahluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari, tetapi Tuhan juga sekaligus besar dan luas seperti samudra dan tidak seperti angkasa dan terdiri dari semua warna di dunia.
Di samping percaya akan adanya Tuhan ingkang maha kuwaos, juga memandang Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Dalam hampir setiap ritus dan upacara pada waktu selametan. memberi sajian di samping menyebut nama Allah juga menyebut Nabi Muhammad “kanjeng Nabi ingkang sumare ing siti medinah”. Namun untuk selanjutnya Nabi Muhammad kurang mendapat perhatian dalam sistem kayakinan agama jawi.
Keyakinan lain yang kemudian berkembang dan diyakini sebagai bagian dari sistem keyakinan terpendam mengenai adanya seorang ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan di dunia ini. Konsep ini lahir dari suatu sinkretisme konsep agama Buddha mengenai empat periode perkembangan alam semesta (catur yoga) dengan harapan akan datangnya imam mahdi pada hari kiamat. Ajaran mengenai ratu adil ini biasa dijumpai pada karangan tiga orang tokoh mistik, Kiai Hasan Maulani dari Lengkeng (Cirebon), Mas Malangyuda dari Rajawan Kidul (Banyumas), dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan (Purwokerto) yang telah menyebarkan datangnya ratu adil serta buku-buku primbon yang mereka gunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka di tiga daerah di Jawa Tengah bagian barat itu.
Hal lain yang juga penting dalam keyakinan Islam Jawa adalah adanya kepercayaan terhadap para dewa yang jumlahnya banyak sekali dan biasanya muncul dalam pentas cerita wayang yang berfungsi memberi pesan pendidikan dan moral. Dari sekian dewa, terdapat dua dewa yang memainkan peranan penting dalam kehidupan keagmaan orang Jawa, yaitu Dewi Kesuburan yang mereka sebut dengan Dewi Sri yang penting dalam upacara pertanian. Dewa kedua adalah Dewa Bathara Kala, yaitu dewa waktu, kerusakan, dan kematian yang juga penting dalam acara ruwat untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan kesengsaraan hidup.
Berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan. Sejak dari kandungan, ritual selametan sudah dimulai dengan acara yang sering disebut dengan Tingkeban saat kandungan berumur tujuh bulan yang juga terkenal dengan selametan mitoni.
Kemudian selametan puput puser, kemudian upacara memberi nama dilanjutkan selametan tedhak siten atau upacara menyentuh tanah, kemudian upacara sunatan atau sering disebut upacara ngIslamaken (masuk Islam). Setelah itu, diikuti dengan upacara kematian yang pelaksanaanya pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu hari dari kematianya. Di samping itu, terdapat upacara tahunan seperti muludan, rejeban, nisfu sya’ban, yaitu selamatan barakah sampai larut malam, upacara nyadran, yaitu pada akhir bulan ruwah.
Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan» sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, salam» dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan» atau tahlil» yaitu membaca kalimat Thayyibah ”La ilaha illa Allah” secara bersama-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis yang merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya local, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
• Kesimpulan
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup.
• Saran dan Kritik
Kami selaku tim penyusun makalah ini menyarankan untuk tidak mempunyai sifat iri dan sombong, walaupun kita termasuk makhluk yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain, setelah anda membaca makalah ini, hendaknya saudara mampu mengambil hikmah dari makalah ini yang kami buat sehingga kita dapat mengurangi rasa jenuh dan lupa dan kami selaku insan yang tak lepas dari salah. Maka kami sangat mengharap kritik konstruktif apabila makalah ini kurang sempurna.
• Kata Penutup
Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahan,mudah – mudahan makalahini dapat bermanfaat bagi kita semua amin.
DAFTAR PUSTAKA
• Arifin, Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS.
• Damami, Muhammad. 2003. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.
• Geertz, Clifford. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
• Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
• Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
• Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
• M. Sirozi. 1992. “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal
• Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992.
• M.B. Rohimsyah. AR. 2006. Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa.
Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
PENDAHULUAN
• Latar Belakang
Membincang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Melakukan pembacaan terhadap Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmupengetahuan, agama, dan kesenian.
• Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan yaitu sebagai berikut :
• Islam : Lokal dan Universal.
• Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa.
• Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa.
• Karakteristik Islam Kejawen.
• Tujuan
Tujuan makalah ini sebagai sarana sekaligus suatu arah dalam menjalankan tugas. Maka berdasarkan pada rumusan masalah dapat dibuat tujuan masalah yaitu sebagai berikut:
• Penulis ingin mengetahui dan memahami Budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia sebelum islam dan sesudah islam.
• Agar dapat memenuhi tuntunan dari Tri Dharma tinggi khususnya dharma pendidikan Islam.
• Untuk mengetahui tugas mata kuliah sejarah SKI Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
• Islam:Lokal dan Universal
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim, dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti originalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
• Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa
Ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘ponakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyrakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib di pandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk berbakti kepada dewa saja ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Sejak awal budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi raja kepada rakyatnya melalui media
hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan sebagai tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang juga disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja mempunyai kepentingan-kepentingan mencipatakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptkan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.
• Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa
Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel. Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam.
Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo.
Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam.
Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘zaman kewalen” (zaman wali).
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.
Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuhtoleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach).
• Karakteristik Islam Kejawen
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang; Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama Islam. Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri.
Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Dalam diskursus akademik, di kalangan para peneliti istilah Kejawen ada yang menyebut dengan istilah aliran kepercayaan. Pada saat yang lain, Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islam Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varian, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Pengembangan konseptual dari gagasan di atas menurut Koentjaraningrat mendefinisikan Islam Jawi atas Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai sama dengan agama Islam. Komunitas Islam Kejawen dan santri terdapat dalam berbagai lapisan masyarakat di Jawa.
Adapun mengenai sitem keyakinan Islam Jawi atau Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, mahluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.
Mistik merupakan salah satu bentuk dari hasil proses pembentukan kebudayaan religi di Jawa. Ketika Islam kultural dari tradisi besar pesantren bersentuhan dengan kebudayaan religi Jawa, maka terjadilah interaksi tarik ulur antara keduanya. Hasilnya adalah munculnya mistik baru yang belakangan disebut “mistik Islam Kejawen”. Sebagaimana diakui oleh para pengamat budaya Jawa bahwa daya resepsi (penerimaan) masyarakat pengembang budaya Jawa sangat lentur, yaitu budaya yang terbuka untuk menerima budaya luar tanpa kehilangan jati diri kebudayaan Jawa.
Dalam tradisi kepercayaan orang kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan silsilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu.
Dalam sistem keyakinan kejawen klasik, apa yang disebut leluhur itu adalah orang yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka itu selalu dihubungi oleh orang-orang yang masih hidup dengan upacara adat tertentu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.
Kehidupan orang Jawa bergerak antara kutub-kutub kasar dan kehalusan untuk menciptakan keunggulan moral. Pemakaian bahasa Jawa dan tingkah-laku yang menyertainya jelas sekali mengekspresikan hal itu. Tidak mungkin berbicara dengan bahasa Jawa tanpa memperhatikan posisi orang yang diajak bicara. Pilihan kata mencerminkan keakraban, kedudukan, dan formalitas, usia, jarak sosial, dan peringkat berikut dengan nuansa pengharapan relatif. Kewajiban dan hak.
Bahasa dan tindak tanduk digunakan untuk mengekspresikan penghormatan dan penghargaan bagi yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian, penghormatan terhadap hirarki merupakanperilaku moral. Pola komunikasi dalam interaksi sosial dalam komunitas Jawa betul-betul menggambarkan relasi moral dengan menempatkan bahasa komunikasi sesuai dengan martabat dan keluhuran tokoh yang dihormatinya.
Konsep agama Jawa mengenai Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam dan dituangkan dalam istilah sebutan Gusti Allah ingkang Maha Kuwaos. Konsep tentang Tuhan bagi masyarakat kejawen sangat sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan adalah penyebab dari segala kehidupan, dunia, dan seluruh alam semesta (ngalam donya), dan hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa).
Sumber yang paling utama terkait dengan konsep Tuhan pada orang kejawen adalah buku Nawaruci yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Bali-Jawa, dalam bentuk prosa. Dalam buku itu Tuhan dilambangkan sebagai mahluk yang sangat kecil dan ia dapat melihat seluruh alam jagad raya. Menurut konsep agama orang kejawen bahwa Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini yang dilambangkan dengan wujud suatu mahluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari, tetapi Tuhan juga sekaligus besar dan luas seperti samudra dan tidak seperti angkasa dan terdiri dari semua warna di dunia.
Di samping percaya akan adanya Tuhan ingkang maha kuwaos, juga memandang Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Dalam hampir setiap ritus dan upacara pada waktu selametan. memberi sajian di samping menyebut nama Allah juga menyebut Nabi Muhammad “kanjeng Nabi ingkang sumare ing siti medinah”. Namun untuk selanjutnya Nabi Muhammad kurang mendapat perhatian dalam sistem kayakinan agama jawi.
Keyakinan lain yang kemudian berkembang dan diyakini sebagai bagian dari sistem keyakinan terpendam mengenai adanya seorang ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan di dunia ini. Konsep ini lahir dari suatu sinkretisme konsep agama Buddha mengenai empat periode perkembangan alam semesta (catur yoga) dengan harapan akan datangnya imam mahdi pada hari kiamat. Ajaran mengenai ratu adil ini biasa dijumpai pada karangan tiga orang tokoh mistik, Kiai Hasan Maulani dari Lengkeng (Cirebon), Mas Malangyuda dari Rajawan Kidul (Banyumas), dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan (Purwokerto) yang telah menyebarkan datangnya ratu adil serta buku-buku primbon yang mereka gunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka di tiga daerah di Jawa Tengah bagian barat itu.
Hal lain yang juga penting dalam keyakinan Islam Jawa adalah adanya kepercayaan terhadap para dewa yang jumlahnya banyak sekali dan biasanya muncul dalam pentas cerita wayang yang berfungsi memberi pesan pendidikan dan moral. Dari sekian dewa, terdapat dua dewa yang memainkan peranan penting dalam kehidupan keagmaan orang Jawa, yaitu Dewi Kesuburan yang mereka sebut dengan Dewi Sri yang penting dalam upacara pertanian. Dewa kedua adalah Dewa Bathara Kala, yaitu dewa waktu, kerusakan, dan kematian yang juga penting dalam acara ruwat untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan kesengsaraan hidup.
Berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan. Sejak dari kandungan, ritual selametan sudah dimulai dengan acara yang sering disebut dengan Tingkeban saat kandungan berumur tujuh bulan yang juga terkenal dengan selametan mitoni.
Kemudian selametan puput puser, kemudian upacara memberi nama dilanjutkan selametan tedhak siten atau upacara menyentuh tanah, kemudian upacara sunatan atau sering disebut upacara ngIslamaken (masuk Islam). Setelah itu, diikuti dengan upacara kematian yang pelaksanaanya pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu hari dari kematianya. Di samping itu, terdapat upacara tahunan seperti muludan, rejeban, nisfu sya’ban, yaitu selamatan barakah sampai larut malam, upacara nyadran, yaitu pada akhir bulan ruwah.
Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan» sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, salam» dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan» atau tahlil» yaitu membaca kalimat Thayyibah ”La ilaha illa Allah” secara bersama-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis yang merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya local, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
• Kesimpulan
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup.
• Saran dan Kritik
Kami selaku tim penyusun makalah ini menyarankan untuk tidak mempunyai sifat iri dan sombong, walaupun kita termasuk makhluk yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain, setelah anda membaca makalah ini, hendaknya saudara mampu mengambil hikmah dari makalah ini yang kami buat sehingga kita dapat mengurangi rasa jenuh dan lupa dan kami selaku insan yang tak lepas dari salah. Maka kami sangat mengharap kritik konstruktif apabila makalah ini kurang sempurna.
• Kata Penutup
Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahan,mudah – mudahan makalahini dapat bermanfaat bagi kita semua amin.
DAFTAR PUSTAKA
• Arifin, Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS.
• Damami, Muhammad. 2003. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.
• Geertz, Clifford. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
• Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
• Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
• Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
• M. Sirozi. 1992. “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal
• Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992.
• M.B. Rohimsyah. AR. 2006. Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa.
Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
Kamis, 17 Maret 2011
penanggulangan tbc
Penangulangan Tuberclosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda ,namun terbatas pada kelompok tertentu .Setelah perang kemerdekaan ,TB ditanggulangi melalui Balai pengobatan Penyakit paru-paru (BP-4) sejak tahun 1969 penangulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas . Obat anti Tuberclosis (OAT) yang digunakan adalah panduan standar INH
MDR ;MULTI DRUGSRESISTANCE (KEKEBALAN GANDA TERHADAP OBAT)
PRM :PUSKESMAS RUJUKAN MANDIRI
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15=50 tahun) diperkirakan seorang pasien dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan .Hal tersebut akab berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitan 20-30%.
PENYEBAB UTAMA MENINGKATNYA BEBAN MAASALAH TB ANTARA LAIN ADALAH :
PENYEBAB UTAMA MENINGKATNYA BEBAN MASALAH TB
Antara lain :
1.Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat ,seperti pada Negara -negara yang sedang berkembang .
2.Kegagalan Program TB selama ini diakibatkan oleh
• Tidak memadainya Komitmen Politik dan Pendanaan
• Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (Kurang terakses oleh masyarakat .penamuan kasus /diagnosis yang tidak standar , obat tidak terjamin penyediaannya ,tidak dilakukan pemantauan ,pencatatan dan pelaporanyang standard an sebagainya)
MDR ;MULTI DRUGSRESISTANCE (KEKEBALAN GANDA TERHADAP OBAT)
PRM :PUSKESMAS RUJUKAN MANDIRI
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15=50 tahun) diperkirakan seorang pasien dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan .Hal tersebut akab berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitan 20-30%.
PENYEBAB UTAMA MENINGKATNYA BEBAN MAASALAH TB ANTARA LAIN ADALAH :
PENYEBAB UTAMA MENINGKATNYA BEBAN MASALAH TB
Antara lain :
1.Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat ,seperti pada Negara -negara yang sedang berkembang .
2.Kegagalan Program TB selama ini diakibatkan oleh
• Tidak memadainya Komitmen Politik dan Pendanaan
• Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (Kurang terakses oleh masyarakat .penamuan kasus /diagnosis yang tidak standar , obat tidak terjamin penyediaannya ,tidak dilakukan pemantauan ,pencatatan dan pelaporanyang standard an sebagainya)
Langganan:
Postingan (Atom)